Photobucket

Selasa, 28 Juli 2009

Seni Pahat .


Seni Pahat setelah tahun 1800


Hans Michelsen (1789-1859), seorang siswa berkebangsaan Norwegia dari pemahat Danish, Bertel Thorvaldsen tinggal di Roma, datang pada saat pemerintahan Raja Swedia, Raja Karl Johan dan tinggal untuk beberapa tahun lamanya di Stockholm. Ia kemudian kembali ke Norwegia dan mengusulkan perbaikan Kubah Nidaros. Sesudahnya, Michelsen dan temannya Julius Middelthun (1820-1886) mengikuti prinsip pahatan klasik, namun juga secara kuat dipengaruhi oleh aliran Realisme. Pemahat penting lainnya, Brynjulf Bergslien (1830-1898), mengembangkan gaya Realistik yang berasal dari Romantisme Nasional. Karyanya yang berupa pahatan Karl Johan terleta di luar kerajaan Oslo. Sementara Stephan Sinding (1846-1922) juga mendapat pengakuan internasional untuk karya pahatannya yang bersifat lebih klasik.
Tahun 1880 dan 1890 merupakan periode dimana seni pahat Norwegia dipengaruhi oleh simbolisme, dan pahatan yang diciptakan oleh Gustav Vigeland (1869-1943) selama dekade ini mewakili karya-karya seni terbaik pada masa itu dalam konteks Eropa. Vigeland selama beberapa waktu bekerja untuk perbaikan Kubah Nidaros, namun setelah tahun berakhir, ia mengembangkan gaya yang lebih sederhana. Taman Vigeland di Oslo, bersama dengan museum pribadi Vigeland menampilkan seluruh koleksi pahatannya dan berbagai fase artistic. Anders Svor (1864-1922) dan Lars Utne (1862-1922) merupakan generasi penting dari Vigeland.
Mulai tahun 1920, aliran seni pahat yang baru yaitu Ekspresionisme dikembangkan, dan kemudian menjadi merek dagang seni pahat Norwegia sepanjang abad tersebut. Aliran ini tertuang pada karya-karya Dyre Vaa (1903-1980), Gunnar Janson (1901-1983), Emil Lie (1897-1976), Nic Shciøll (1901-1984), Stinius Fredriksen (1902-1977), Per Hurum (1910- 1989), Per Paalle Storm (1910-1994), Anne Grimsdalen (1899-1961) dan Joseph Grimeland (b1916).
Dari tahun 1950 adalah Aase Texmon Rygh (b1925), Carl Nesjar (b1920) dan Odd Tandberg (b1924) yang bekerja dengan menggunakan dasar matematika dan bentuk yang lebih geometris. Seni pahat yang lebih abstrak diperkenalkan oleh Arnold Haukeland (1920-1983) dan aliran surealisme dan konstrukturalisme oleh Ramon Isern (b1914). Nils Aas (b1933) menghadirkan seni pahat dengan makna kiasan dan dikenal karena ekspresi individu dalam karya pahatannya. Karya-karya lain yang patut mendapat perhatian pada masa ini adalah karya Knut Steen (b1924), Boge Berg (b1944), Arne Vinje Gunnerud (b1930) dan Ola Enstad(b1942).
Selama tahun 1970, seni pahat Norwegia sekali lagi dipengaruhi oleh tren dan gaya internasional. Bård Breivik (b1948) dan Kristian Blystad (b1946) mewakili generasi baru pemahat Norwegia dan keduanya menentang tradisi lama tahun 1920. Karya Breivik menggabungkan seni kerajinan yang sangat indah dengan disain sederhana, dengan focus pada kualitas bahan yang digunakan. Sementara Blystad menghadirkan karya yang lebih berbentuk, namun tetap berfokus pada kualitas yang sama. Bersama-sama mereka telah melahirkan kembali seni pahat Norwegia dan memberikannya identitas baru. Pemahat penting pada masa ini termasuk Nico Wideberg (b1960), Gunnar Torvsund (b1948), Helge Røed (b1938), Per Ung (b1933), Thor Sandborg (b1942), Sissel Tolaas (b1946), WencheGuldbransen (b1947) dan Istvan Lisztes (b1942).
Dalam beberapa tahun terakhir, para pemahat Norwegia telah mengembangkan karya mereka dengan melibatkan lebih dari hanya seni pahat dan menggunakan bahan lain daripada hanya batu, tembaga atau marmer. Jon Gundersen (b1942) menciptakan pahatan dengan menggunakan ‘masyarakat moderen yang dapat dibuang’, menciptakan transformasi yang ironis dan tajam melalui limbah daur ulang. Kjell Erik Killi Olsen (b1952) menggunakan baja dan secara khusus dikenla karena seni pahatan metalnya di Vesterålen (1994). Kjartan Slettemark (b1932) tinggal dan bekerja di Swedia, namun karya-karyanya yang kuat dan provokatif membawa pengaruh penting. Ia bekerja menggunakan berbagai bahan, dengan fokus utama perakitan boneka dari sampah; karyanya yang baru berada di persimpangan angara seni pahat dan perakitan. Beberapa pemahat kontemporer telah bereksperimen dengan media lain seperti cahaya, suara, tempat dan gerakan. Nama-nama yang patut diperhitungkan adalah Per Inge Bjørlo (b1952), Iver Jåks (b1932), Ola Enstad (b1942), Bente Stokke (b1952), Marianne Heske (b1946), Inghild Karlsen (b1952), Børre Larsen (b1952), Per Barclay (b1955) dan Michael O’Connel (b1950).
Teks ini ditulis dengan ijin dari Visiting Arts dari Direktori Seni Norwegia (ISBN 19020349164 © 1999). E-mail: information@visitingarts.org.uk
Kirim artikel ini ke teman


· Seni pahat nusantara

Beberapa Gaya Seni Pahat di Papua
Seni Tradisional dan ModernPada umumnya karya seni adalah hasil ekspresi jiwa yang dilatarbelakangi oleh budaya setempat yang telah membentuk jiwa atau pribadi sang seniman. Seniman tradisional yang berlum tersentuh oleh budaya luar akan lebih banyak menghasilkan karya budaya kolektif yang dapat mewakili cipta, rasa dan karsa kelompok suku atau etnisnya.Umumnya hampir semua anggota masyarakat tradisional adalah seniman, karya seninya hampir identik dengan karya kerajinan. Hasil karya para seniman tradisional akan mempunyai persamaan antara satu dengan lainnya; gaya seninya statis dan cenderung menghindari perubahan. Sebaliknya seniman modern yang telah mengenal berbagai ragam seni dari berbagai etnis lain akan menghasilkan karya seni yang lebih individual; karya seni modern akan selalu berbeda antara satu dengan lainnya; teknik, tema dan gayanya dinamis karena selalu mencari pembaruan.Hasil Hias Seni Pahat PapuaWilayah Papua sangat luas, alamnya masih asli dan transportasi antarwilayah sangat sulit, terutama di bagian pedalaman.Keadaan alam demikian menjadikan penduduknya terisolasi sehingga kontak budaya antarsuku hanya sedikit terjadi. Dengan demikian karya seni (khususnya seni pahat) dari para senimannya adalah hasil ekspresi lokal yang lahir mewakili etnisnya.Dari pengamatan yang dilakukan para pakar seni pahat, antara lain oleh Winger, Ralph Linton, Grebrands dan Kooyman, maka daerah Provinsi Papua dapat dibagi dalam sembilan wilayah yang masing-masing mempunyai gaya seni pahat sendiri-sendiri.Wilayah seni itu ialah:1. Wilayah Pantai Barat-Laut2. Wilayah Teluk Humboldt dan Danau Sentani3. Wilayah Sepik4. Wilayah Teluk Huon5. Wilayah Massim6. Wilayah Teluk Papua7. Wilayah Selat Torres8. Wilayah Marind-Anim9. Wilayah Barat-DayaDalam satu wilayah seni masih ada beberapa kelompok yang lebih kecil yang mempunyai varian gaya seni berbeda, misalnya di wilayah Barat-Daya ada seni rakyat kelompok Mimika, Asmat dan Awyu (termasuk Yaqai dan Citak). Uraian di bawah ini hanya membicarakan gaya seni pahat wilayah Barat-Daya.Gaya Seni Pahat Wilayah Barat-DayaWilayah ini sangat luas dan terpisah-pisah oleh banyak sungai sehingga berakibat timbulnya beberapa perbedaan antara wilayah Mimika, Asmat, dan Awyu.1. Gaya Seni MimikaWilayah ini berada di antara Telk Etna sampai sungai Otokwa. Berpenduduk sekitar 10.000 jiwa dan menggunakan enam dialek bahasa. Latar belakang kepercayaannya: percaya adanya roh leluhur yang mendiami hutan belantara. Prose kehamilan wanita dianggap bukan karena masuknya sperma laki-laki ke alam rahim melainkan adanya roh yang masuk ke rahim sang calon ibu melalui pusernya. Kepercayaan ini mengakibatkan adanya penonjolan pusar manusia dalam pembuatan patung kayu.Ragam hiasnya menggunakan unsur geometris dan antropomorfis, teknis pahatannya krawangan (“a jour”) dan “en relief”, wujudnya patung nenek moyang.2. Gaya Seni AsmatSuku Asmat hampir tiga kali jumlah penduduk Mimika, mereka tinggal di sekitar sungai-sungai, rawa besar, kastil, Barat-Daya, Lorentz, Utumbuwe dan sungai Pulau-Pulau. Mereka juga percaya pada roh nenek moyang dan kehidupannya dipenuhi upacara-upacara sebagai usaha ruwatan. Di masa silam mereka masih mengayau dan yakin pada adat balas dendam. Motif pahatannya geomteris dengan pilihan bentuk huruf M dan W yang dibuat dengan teknik cukil. Dalam peralihan ke bentuk tiga dimensi ada ungkapan antromorfis, terutama pada bentuk haluan perahu. Buatannya masih kasar karena masih digunakan alat-alat dari batu dan tulang (sebelum tahun 1970). Pahatannya sendiri berwujud patung nenek moyang.3. Gaya Seni Awyu dan CitakWilayah yang ditempati suku ini dibatasi oleh Sungsi Kampung di utara dan Sungai Digul di selatan. Adat mengayau masih berlaku hingg sekitar tahun 1940.Gaya seni dua dimensi, misalnya pada perisai, juga menggunakan motif geometris dengan unsur mata, huruf V yang ikal dan pilin ganda. Pola hiasnya ada dua kelompok, yang pertama memusatkan pada motif mata yang diukir dalam bentuk pilin berdampingan; bidang sisanya diisi dengan garis kurvilinier berbentuk V yang bersambungan atau berupa menader. Pola hias kedua lebih sederhana, motif aksara V yang ikat dijadikan motif dasar lalu bidang lainnya diisi cukilan geometris, baik pola pertama maupun pole kedua, meskipun bentuknya abstrak, semuanya masih menampakkan pola antropomorfis. Pada pahatan perisai, warna dasarnya putih, bingkai dan tanggul saluran diberi warna hitam. Sedangkan salurannya diberi warna merah padam (lihat Moh. Amir Sutaarga: Seni Rakyat di Irian Jaya, 1942, Jakarta: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum 1973).Khusus pada karya seni pahat dalam bentuk perisai, kita dapat mengamati atau menelitinya dengan dua cara; pertama kita memasangnya di dinding dan kedua kita menyuruh orang untuk mempermainkannya dalam tarian. Pada acara pertama kita dapat mengamati permainan warna yang kontras tetapi dinamis, pada cara kedua kita dapat menikmati gerak garis dan pola hias antropomorfis hingga seolah-olah benda itu mengandung jiwa dan hidup.Zaman telah berubah dan bangkitnya kesadaran akan hak azasi, terutama azas Pancasila kita, tidak mengizinkan masyarakat Papua menjadi monumen hidup. Tidak mungkin kita melestarikan kehidupan mengayau dan perang balas-dendam. Yang kita lestarikan hanyalah kemampuan masyarakat untuk tetap berkarya di bidang seni pahat dan tetap melakukan tarian mereka, baik dalam kaitan upacara suci maupun sebagai tarian seni belaka. Usaha ini berkaitan dengan tuntutan arus pariwisata yang menghendaki suguhan budaya asli yang tidak ada di belahan dunia lainnya. Yang harus dijaga ialah agar tradisi keagamaan, antara lain berupa tarian ritual (misalnya kematian), tidak “dijual” hanya demi tujuan kecil. Hal ini perlu dijaga agar nilai-nilai sakral dalam masyarakat Papua tidak aus dan hilang.


Sumber:Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.